Minggu, 26 Februari 2012

Bom Waktu di Industri Penerbangan Indonesia

 Agus Pambagio - detikNews
Senin, 27/02/2012 10:15 WIB 

Jakarta Perkembangan bisnis angkutan udara di Indonesia merupakan salah satu sektor yang tinggi pertumbuhannya, termasuk pertambahan jumlah armada pesawat. Pertumbuhan ini harus diikuti dengan pertumbuhan beberapa sektor industri lain yang terkait, termasuk sumber daya manusia (SDM), bandara, ground handling, dan regulasi.

Kepadatan di beberapa bandara utama di Indonesia sudah sangat mengganggu dan membahayakan keselamatan publik, termasuk penumpang, pesawat dan awak kabin. Baik yang sedang mengudara, mendarat, tinggal landas maupun yang sedang parkir atau harus segera mendapatkan perawatan di hanggar.

Diizinkannya maskapai penerbangan melakukan self handling untuk penumpang dan cargo, khususnya maskapai penerbangan low cost, sering tidak sesuai dengan standar keselamatan dan ini dapat membahayakan pesawat dan konsumen. Kurangnya sumber daya manusia (SDM) di industri penerbangan di seluruh maskapai penerbangan, bandara termasuk Air Traffic Control (ATC), dan di regulator khususnya di Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah membuat keselamatan penerbangan Indonesia dipertaruhkan. Lalu apa yang harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan industri penerbangan?

Maksimalisasi Armada dan Masalah Penunjang

Sinkronisasi antara pertumbuhan armada atau pesawat harus berbanding lurus dengan perkembangan industri penunjang penerbangan lainnya, termasuk SDM, bandara, ground handling, dan regulator. Garuda Indonesia (GA) sebagai maskapai full service dan Lion Air (LA) sebagai maskapai low cost merupakan dua (2) armada nasional yg paling pesat pertumbuhan armada pesawat barunya saat ini. Belum lagi penambahan pesawat di maskapai lainnya, seperti Citilink, Batavia Air, Wings Air, dan sebagainya.

Namun maskapai penerbangan punya masalah lain, yaitu kekurangan awak pesawat, seperti juga di dunia. Masing-masing jenis pesawat mempunyai standar jumlah awak kabin tersendiri, misalnya pesawat B 737 jenis apapun harus mempunyai awak kabin rata-rata 4 set (masing-masing 1 pilot, 1 co pilot, 1 purser dan 5 pramugari). Jadi 1 pesawat dibutuhkan 32 orang crew. Apakah maskapai dapat megejar kebutuhan awak kabin selancar memesan pesawat?

GA dan LA termasuk anak perusahaannya (Citilink dan Wings Air) di tahun 2015 saat kebijakan ASEAN Open Sky di berlakukan, akan banyak menggunakan pesawat baru dengan usia di bawah 7 tahun. Dari segi pesawat sebenarnya kedua maskapai penerbangan utama Indonesia tersebut akan siap merebut pasar regional, bersaing dengan misalnya Air Asia dari Malaysia.

Namun kendala muncul di sektor kebandarudaraan. Hampir semua bandara utama, seperti Soekarno Hatta (CGK), Surabaya (SUB), Medan (MES), Ngurah Rai (DPS), dan lain lain yang sudah melebihi daya tampung sampai 2 kali lebih saat ini.

Pertanyaan lainnya: di manakah pesawat-pesawat sebanyak itu harus mendarat dan parkir? Beberapa terminal bandara memang sedang di renovasi dan dibangun, seperti Surabaya, Denpasar, Balikpapan, Medan dan lain-lain namun landasan pacu tidak ditambah, alias hanya satu (1). Artinya keterlambatan dan keselamatan penerbangan bisa bertambah buruk mengingat jumlah pesawat terus bertambah. Apalagi jika terjadi gangguan di landasan, seperti ada pesawat tergelincir/ mogok di sepanjang landasan atau landasan dibersihkan karena rubber deposit sudah membahayakan, dan lain-lain maka banyak penerbangan akan tertunda.

Selain itu kepadatan bandara menyebabkan perawatan pesawat terhambat yang berakibat pada keterlambatan penerbangan, contohnya di CGK dan DPS. Pesawat GA di CGK jika mengalami gangguan serius, khususnya di saat kepadatan penerbangan, dan harus diperbaiki di hanggar Garuda Maintenance Facility (GMF). Pesawat harus menunggu taxiway (jalan penghubung antara landasan pacu dengan apron/tempat parkir pesawat) kosong, agar pesawat bisa ditarik masuk ke hangar. Umumnya otoritas bandara baru akan memberikan izin di atas pukul 21.00 di mana kepadatan di bandara berkurang. Bayangkan jika peswat esoknya harus terbang pada pukul 05.00 tentu kemungkinan besar akan terlambat.

Dari sisi ground handling, munculnya self handling yang banyak digunakan oleh maskapai murah juga jadi masalah, jika kita bicara keselamatan penerbangan. Peralatan yang mereka gunakan tidak standar. Banyak tangga pesawat yang ditempelkan ke pesawat secara manual dengan di dorong oleh 1 - 2 orang. Tangga jenis ini sangat rawan terguling dan merusak pesawat jika roboh tertiup angin atau salah menempelkan pada pintu pesawat.

Dari sisi SDM, baik regulator, awak pesawat dan bandara termasuk ATC sangat kurang. Padahal kebutuhan terus membesar dengan datangnya berbagai pesawat baru dan ini sangat membahayakan keselamatan penerbangan jika regulator tidak tegas dan cerdas. Dalam pelarangan terbang oleh Uni Eropa tempo hari, salah satu yang harus dipenuhi oleh regulator Indonesia, dalam hal ini DKUPPU, adalah inspektor DKUPPU karena mereka nilai sangat kurang dan itu yang menjadi salah satu penyebab amburadulnya keselamatan penerbangan Indonesia kala itu.

Langkah Cerdas yang Harus Dilakukan

Sebagai negara di mana pasar industri penerbangannya terus tumbuh, kiranya perlu ada sinkronisasi/ harmonisasi kebijakan dan aksi antara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJU), INACA (Indonesia Air Carrier Association), PGHI (Persatuan Ground Handling Indonesia), PT Angkasa Pura (AP) I dan PT Angkasa Pura (AP) II. Ingat otoritas penerbangan kita pernah menjadi yang terburuk di dunia saat semua pesawat dengan kode registrasi PK yang dikeluarkan oleh DJU dilarang terbang melintas di Uni Eropa.

Jika tidak ada langkah cerdas dari Kementerian Perhubungan (DJU) sebagai regulator dan Kementrian BUMN sebagai pemilik sebagian besar bandara utama dan maskapai penerbangan, maka berkembangnya industri penerbangan bisa menjadi bom waktu yang maha dahsyat dari segi keselamatan penerbangan. Padahal ASEAN Open Sky Policy 2015 sudah hampir datang. Kehadiran armada pesawat baru tidak akan membuat Indonesia unggul paska diberlakukannya ASEAN Open Sky 2015 jika kondisi regulator, bandara, ground handling, SDM tidak kunjung berubah. Kita perlu pimpinan regulator yang cerdas, berani dan gila demi keselamatan dan majunya penerbangan Indonesia. Salam.

*) Agus Pambagio adalah pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen.

(vit/vit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar